Jembatan Gentala Arasy
source: google image |
Lalu di postingan ini saya akan membahas tentang jembatan Gentala Arasy, yang berada di atas Sungai Terpanjang di pulau Sumatera.
Tidak banyak kota, atau mungkin tak ada kota di dunia,
yang menyediakan jembatan khusus pejalan kaki, yang membentang di atas sungai
besar yang mengiris jantung kota. Di sinilah letak keunikan dan barangkali juga
keistimewaan Kota Jambi, yang memiliki Jembatan Gentala Arasy, membentang sepanjang 530 meter, dengan lebar
4,5 meter, dan konstruksi yang elok dipandang mata.
Pilihan kata untuk nama jembatannya juga tergolong
unik dan asing, setidaknya buat saya. Karena untuk memahami, saya harus membuka
kamus dan berselancar di mesin pencari dulu.
Dalam KBBI, kata gentala diartikan “kereta sakti yang
berjalan sendiri”. Jelas, makna ini tidak pas untuk jembatan pedestarian itu.
Penjelasannya justru muncul di tulisan seorang
blogger: “Gentala Arasy” adalah singkatan dari “Gena Tanah Lahir Abdurahman Sayuti”,
dan Abdurahman Sayuti adalah mantan Gubernur Jambi periode 1989— 1999, yang
lahir di kampung, yang kini menjadi lokasi bangunan museum Islam, yang dari
jauh dapat ditandai dengan bangunan ikonik berupa menara jam, yang juga disebut
Menara Gentala Arasy.
Lalu, gena apa pula artinya? Lagi-lagi kamus
menjelaskan makna kata gena: pipi, atau bagian samping. Tapi seorang blogger
menjelaskan makna ‘gena’ yang lebih pas: dalam bahasa Jambi, ‘gena’ berarti
tempat. Maka Gentala Arasy adalah “tempat tanah kelahiran Abdurrahman Sayuti”.
Jika sebuah nama harus dijelaskan melalui beberapa
paragrap, mungkin itu menunjukkan bahwa pemberi nama memiliki karakter yang
njlimet. Khususnya bila akronimnya memunculkan makna baru, yang tidak berkaitan
samasekali dengan obyek penamaan.
Tapi nama “Gentala Arasy”, meski harus dijelaskan
berkalimat-kalimat, tetap mengirim pesan karakter yang kuat.
Menurut penuturan seorang warga Kota Jambi: pada
awalnya, Gentala Arasy adalah nama untuk museum Islam (yang pada sejarah masuknya
Islam ke Jambi). Di lingkungan musem ini terdapat sebuah menara jam, yang juga
disebut Menara Gentala Arasy. Nah, oleh
karena salah satu ujung jembatan pedestarian itu berakhir di museum (tepian
Batanghari bagian utara), maka jembatan pedestarian itu akhirnya populer dengan
nama Jembatan Gentala Arasy.
Kontruksi jembatan pedestarian itu juga cukup unik,
meliuk-liuk seperti hurup ‘S’, membentang di atas Sungai Batanghari, yang
menurut ukuran rata-rata sungai di Indonesia, tergolong lebar (lebih dari 100
meter).
Catatan: kebanyakan jembatan di kota-kota besar di
dunia, jalur pedestarian menempel pada jembatan kendaraan. Tapi Pemda Jambi
ternyata memiliki daya imajinatif yang out of box, untuk memanjakan warga dan
pengunjungnya. Dan jembatan itu benar-benar khusus untuk pejalan kaki. Sebab
bahkan sepeda pun tak boleh melintas.
Ketika saya berada di tengah jembatan, kira-kira
persis di tengah sungai, saya membayangkan sedang berada di langit sungai
Batanghari. Sempat membatin: seandainya saya sastrawan, mungkin beberapa bait
puisi asmara atau puisi sufistik akan terangkai apik. Tapi imajinasi saya tak
sampai, ternyata.
Dan saya yakin, jembatan Gentala Arasy dibuat bukan
sebagai jalur pedestarian yang biasa. Jembatan yang disanggah dua tiang
menjulang tinggi itu memawarkan suasana romantik bagi mereka yang lagi kasmaran
atau mengenang masa-masa kasmarannya. Dan sejak difungsikan, khususnya
menjelang senja sampai tengah malam, Jembatan Gentala Arasy menjadi pusat
peraduan kasih oleh banyak dua sejoli.
0 Komentar