source: http://yopiefranz.com |
Kawasan Percandian Muaro Jambi, pertama kali ditemukan oleh seorang perwira Inggris, S.C. Crooke pada tahun 1824. Saat itu, S.C. Crooke tengah melakukan pemetaan sepanjang pesisir Sungai Batang Hari. Kemudian pada 1975, ekskavasi mulai dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah komando R. Soekmono.
Pada 1954, akeolog R. Soekmono melakukan peninjauan
terhadap peninggalan purbakala di Sumatra Selatan. Ia lalu mampir ke Muaro
Jambi yang dulunya masih menjadi bagian wilayah itu. Tempat-tempat yang
dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, dan Tinggi. Ketiganya masih
berupa gundukan tanah tertutup rapat vegetasi hutan.
Pembersihan kawasan candi baru dilakukan pada 1976.
Dari situ nampaklah tujuh reruntuhan candi: Kotomahligai, Kedaton, Gedong I,
Gedong II, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano.
Pemugaran dilakukan dua tahun kemudian. Penelitian
arkeologi mulai aktif dilakukan sejak 1981. Awalnya oleh Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional. Lalu dilanjutkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi dan
Balai Arkeologi Sumatra Selatan.
“Dari dulu sudah tahu ini namanya candi, tapi tak
tahulah untuk apa. Kerajaan tahunya. Tapi tak tahu ini kerajaan apa,” kata
Ibrahim.
Candi-candi di Muaro Jambi tersebar dari barat ke timur,
sepanjang 7,5 km, mengikuti aliran Sungai Batanghari. Memang belum jelas betul
dulunya bangunan-bangunan kuno itu dipakai untuk apa. Banyak peneliti yang
mengaitkan sisa-sisa bangunan itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh
I-Tsing pada abad ke-7.
Sementara Suharno, yang memelihara dan melestarikan
kompleks percandian di Muaro Jambi menjelaskan, sejauh ini bangunan-bangunan
kuno itu ditafsirkan pernah berfungsi sebagai pusat keagamaan.
“Perlu dibedakan antara pusat kerajaan dan pusat
keagamaan. Masyarakat kalau bicara candi, pikirnya pasti ini pusat
kerajaan," katanya. "Padahal ini pusat keagamaan. Muaro Jambi ini
pusat keagamaan Buddha."
Tanda-tandanya, antara satu candi dan candi lainnya
dibatasi oleh pagar keliling. Ini untuk membagi wilayah sakral dan profan.
"Ada kolam, setiap candi pasti dilengkapi kolam. Air melambangkan
kesucian," lanjutnya.
Menariknya, jika dilihat dari udara, Kawasan
Percandian Muaro Jambi ini memiliki jalur transportasi sistem kanal. Terbukti
dengan ditemukannya kanal kuno, dan bila musim penghujan atau saat Sungai
Batang Hari pasang, Sobat Pesona dapat mengelilingi Kawasan Percandian Muaro
Jambi ini dengan menggunakan sampan atau perahu kecil.
Menurut hasil temuan tersebut, disimpulkan bahwa
Candi-candi di Muaro Jambi merupakan peninggalan peradaban dan tempat
peribadatan zaman kerajaan Sriwijaya yang mayoritas telah mengenal budaya dan
kepercayaan Buddha Mahayana Tantrayana. Hal tersebut didukung oleh beberapa
artefak yang ditemukan, seperti Stupa, Arca Gajah Singh, dan Arca
Prajinaparamita yang tersimpan baik di Museum Candi Muaro Jambi.
Itu dikuatkan hasil penelitian Musawira, lulusan
arkeologi Universitas Jambi. Khususnya di Candi Gumpung, dia melihat adanya
bekas-bekas kegiatan agama pada masa lalu berupa temuan bata setengah lingkaran
yang merupakan bagian dari stupa. Ada pula lantai pradaksina patha pada candi
induknya. Pradaksina patha adalah lantai untuk melakukan ritual pradaksina,
yaitu mengelilingi candi searah jarum jam.
Kawasan Percandian Muaro Jambi merupakan kawasan
percandian yang terluas secara wilayah, bahkan diperkirakan 12 kali lebih luas
dari kawasan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa tengah. Saking luasnya
area percandian Muaro Jambi, letak candi-candi terpaut jarak yang cukup jauh
satu sama lainnya.
Sembilan candi sudah berdiri kokoh setelah mengalami
ekskavasi yang dimulai dari tahun 1980an. Namun, masih banyak Menapo atau
reruntuhan bangunan purbakala yang masih tertimbun tanah. Kemungkinan mencapai
ratusan yang tersebar di kawasan tersebut, ada yang ditemukan di pemukiman
penduduk, di lahan perkebunan, bahkan di dalam kawasan pabrik.
0 Komentar